Terbentuknya Kepulauan Indonesia
Ada banyak teori dan penjelasan tentang penciptaan bumi, mulai dari
mitos sampai kepada penjelasan agama dan ilmu pengetahuan. Kali ini kamu
belajar sejarah sebagai cabang keilmuan, pembahasannya adalah pendekatan ilmu pengetahuan,
yakni asumsi-asumsi ilmiah, yang kiranya juga tidak perlu bertentangan dengan
ajaran agama.
Salah satu di antara teori ilmiah tentang terbentuknya bumi adalah
Teori “Dentuman Besar” (Big Bang), yang dikemukakan oleh sejumlah ilmuwan,
misalnya ilmuwan besar Inggris, Stephen Hawking. Teori ini menyatakan bahwa
alam semesta mulanya berbentuk gumpalan gas yang mengisi seluruh ruang jagat
raya. Jika digunakan teleskop besar Mount Wilson untuk mengamatinya akan
terlihat ruang jagat raya itu luasnya mencapai radius 500 juta tahun cahaya.
Gumpalan gas itu suatu saat meledak dengan satu dentuman yang amat dahsyat. Setelah
itu, materi yang terdapat di alam semesta mulai berdesakan satu sama lain dalam
kondisi suhu dan kepadatan yang sangat tinggi, sehingga hanya tersisa energi
berupa proton, neutron dan elektron, yang bertebaran ke seluruh arah. Ledakan
dahsyat itu menimbulkan gelembung-gelembung alam semesta yang menyebar dan
menggembung ke seluruh penjuru, sehingga membentuk galaksi, bintang-bintang,
matahari, planet-planet, bumi, bulan dan meteorit.
Bumi kita hanyalah salah satu titik kecil saja di antara tata surya
yang mengisi jagat semesta. Di samping itu banyak planet lain termasuk
bintang-bintang yang menghiasi langit yang tak terhitung jumlahnya. Boleh jadi
ukurannya jauh lebih besar dari planet bumi. Bintang-bintang berkumpul dalam
suatu gugusan, meskipun antarbintang berjauhan letaknya di angkasa. Ada juga
ilmuwan astronomi yang mengibaratkan galaksi bintang-bintang itu tak ubahnya
seperti sekumpulan anak ayam, yang tak mungkin dipisahkan dari induknya. Jadi
di mana ada anak ayam di situ pasti ada induknya. Seperti halnya dengan
anak-anak ayam, bintang-bintang di angkasa tak mungkin gemerlap sendirian tanpa
disandingi dengan bintang lainnya. Sistem alam semesta dengan semua benda
langit sudah tersusun secara menakjubkan dan masing-masing beredar secara
teratur dan rapi pada sumbunya masing-masing
Selanjutnya proses
evolusi alam semesta itu memakan waktu kosmologis yang sangat lama sampai
berjuta tahun. Terjadinya evolusi bumi sampai adanya kehidupan memakan waktu
yang sangat panjang. Ilmu paleontologi membaginya dalam enam tahap waktu
geologis. Masing-masing ditandai oleh peristiwa alam yang menonjol, seperti
munculnya gunung-gunung, benua, dan makhluk hidup yang paling sederhana.
Sedangkan proses evolusi
bumi dibagi menjadi beberapa periode sebagai berikut.
1.
Azoikum (Yunani: a =
tidak; zoon = hewan), yaitu zaman sebelum adanya kehidupan. Pada saat ini bumi
baru terbentuk dengan suhu yang relatif tinggi. Waktunya lebih dari satu miliar
tahun lalu.
2.
Palaezoikum, yaitu zaman
purba tertua. Pada masa ini sudah meninggalkan fosil flora dan fauna.
Berlangsung kira-kira 350 juta tahun.
3.
Mesozoikum, yaitu zaman
purba tengah. Pada masa ini hewan mamalia (menyusui), hewan amfibi, burung dan
tumbuhan berbunga mulai ada. Lamanya kira-kira 140 juta tahun.
4.
Neozoikum, yaitu zaman
purba baru, yang dimulai sejak 60 juta tahun yang lalu. Zaman ini dapat dibagi
lagi menjadi dua tahap (Tersier dan Kuarter). Zaman es mulai menyusut dan
makhluk-makhluk tingkat tinggi dan manusia mulai hidup
Merujuk pada tarikh bumi
di atas, sejarah Kepulauan Indonesia terbentuk melalui proses yang panjang dan
rumit. Sebelum bumi didiami manusia, kepulauan ini hanya diisi flora dan fauna
yang masih sangat kecil dan sederhana. Alam juga harus menjalani evolusi
terus-menerus untuk menemukan keseimbangan agar mampu menyesuaikan diri dengan
perubahan kondisi alam dan iklim, sehingga makhluk hidup dapat bertahan dan
berkembang biak mengikuti seleksi alam.
Gugusan kepulauan
ataupun wilayah maritim seperti yang kita temukan sekarang ini terletak di
antara dua benua dan dua samudra, antara Benua Asia di utara dan Australia di
selatan, antara Samudra Hindia di barat dan Samudra Pasifik di belahan timur. Faktor
letak ini memainkan peran strategis sejak zaman kuno sampai sekarang.
Namun sebelum itu marilah kita sebentar berkenalan dengan kondisi
alamnya, terutama unsur-unsur geologi atau unsurunsur geodinamika yang sangat
berperan dalam pembentukan Kepulauan Indonesia. Menurut para ahli bumi, posisi
pulau-pulau di Kepulauan Indonesia terletak di atas tungku api yang bersumber
dari magma dalam perut bumi. Inti perut bumi tersebut berupa lava cair bersuhu
sangat tinggi. Makin ke dalam tekanan dan suhunya semakin tinggi. Pada suhu
yang tinggi itu material-material akan meleleh sehingga material di bagian
dalam bumi selalu berbentuk cairan panas. Suhu tinggi ini terus-menerus
bergejolak mempertahankan cairan sejak jutaan tahun lalu. Ketika ada celah
lubang keluar, cairan tersebut keluar berbentuk lava cair. Ketika lava mencapai
permukaan bumi, suhu menjadi lebih dingin dari ribuan derajat menjadi hanya
bersuhu normal sekitar 30 derajat. Pada suhu ini cairan lava akan membeku
membentuk batuan beku atau kerak. Keberadaan kerak benua (daratan) dan kerak
samudra selalu bergerak secara dinamis akibat tekanan magma dari perut bumi. Pergerakan
unsur-unsur geodinamika ini dikenal sebagai kegiatan tektonis.
Sebagian wilayah Kepulauan Indonesia merupakan titik temu di antara
tiga lempeng, yaitu Lempeng Indo-Australia di selatan, Lempeng Eurasia di utara
dan Lempeng Pasifik di timur. Pergerakan lempenglempeng tersebut dapat berupa
subduksi (pergerakan lempeng ke atas), obduksi (pergerakan lempeng ke bawah)
dan kolisi (tumbukan lempeng). Pergerakan lain dapat berupa pemisahan atau
divergensi (tabrakan) lempeng-lempeng. Pergerakan mendatar berupa pergeseran
lempeng-lempeng tersebut masih terus berlangsung hingga sekarang. Perbenturan
lempeng-lempeng tersebut menimbulkan dampak yang berbedabeda. Namun semuanya
telah menyebabkan wilayah Kepulauan Indonesia secara tektonis merupakan wilayah
yang sangat aktif dan labil hingga rawan gempa sepanjang waktu.
Pada masa Paleozoikum (masa kehidupan tertua) keadaan geografis
Kepulauan Indonesia belum terbentuk seperti sekarang ini. Di kala itu wilayah
ini masih merupakan bagian dari samudra yang sangat luas, meliputi hampir
seluruh bumi.
Pada fase berikutnya, yaitu pada akhir masa Mesozoikum, sekitar 65 juta
tahun lalu, kegiatan tektonis itu menjadi sangat aktif menggerakkan
lempenglempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Kegiatan ini dikenal
sebagai fase tektonis (orogenesa larami), sehingga menyebabkan daratan
terpecah-pecah.
Benua Eurasia menjadi pulau-pulau yang terpisah satu dengan lainnya.
Sebagian di antaranya bergerak ke selatan membentuk pulau-pulau Sumatra, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi serta pulau-pulau di Nusa Tenggara Barat dan Kepulauan
Banda.
Hal yang sama juga terjadi pada Benua Australia. Sebagian pecahannya
bergerak ke utara membentuk pulau-pulau Timor, Kepulauan Nusa Tenggara Timur
dan sebagian Maluku Tenggara. Pergerakan pulau-pulau hasil pemisahan dari kedua
benua tersebut telah mengakibatkan wilayah pertemuan keduanya sangat labil.
Kegiatan tektonis yang sangat aktif dan kuat telah membentuk rangkaian
Kepulauan Indonesia pada masa Tersier sekitar 65 juta tahun lalu. Sebagian
besar daratan Sumatra, Kalimantan, dan Jawa telah tenggelam menjadi laut
dangkal sebagai akibat terjadinya proses kenaikan permukaan laut atau
transgresi. Sulawesi pada masa itu sudah mulai terbentuk, sementara Papua sudah
mulai bergeser ke utara, meski masih didominasi oleh cekungan sedimentasi laut
dangkal berupa paparan dengan terbentuknya endapan batu gamping.
Pada kala Pliosen sekitar lima juta tahun lalu, terjadi pergerakan
tektonis yang sangat kuat, yang mengakibatkan terjadinya proses pengangkatan
permukaan bumi dan kegiatan vulkanis. Ini pada gilirannya menimbulkan tumbuhnya
(atau mungkin lebih tepat terbentuk) rangkaian perbukitan struktural seperti
perbukitan besar (gunung), dan perbukitan lipatan serta rangkaian gunung api
aktif sepanjang gugusan perbukitan itu.
Kegiatan tektonis dan vulkanis terus aktif hingga awal masa Pleistosen,
yang dikenal sebagai kegiatan tektonis Plio-Pleistosen. Kegiatan tektonis ini
berlangsung di seluruh Kepulauan Indonesia. Gunung api aktif dan rangkaian
perbukitan struktural tersebar di sepanjang bagian barat Pulau Sumatra,
berlanjut ke sepanjang Pulau Jawa ke arah timur hingga Kepulauan Nusa Tenggara
serta Kepulauan Banda. Kemudian terus membentang sepanjang Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Utara.
Pembentukan daratan yang semakin luas itu telah membentuk Kepulauan
Indonesia pada kedudukan pulau-pulau seperti sekarang ini. Hal itu telah
berlangsung sejak kala Pliosen hingga awal Pleistosen (1,8 juta tahun lalu).
Jadi pulau-pulau di kawasan Kepulauan Indonesia ini masih terus bergerak secara
dinamis, sehingga tidak heran jika masih sering terjadi gempa, baik vulkanis
maupun tektonis.
Letak Kepulauan Indonesia yang berada pada deretan gunung api
membuatnya menjadi daerah dengan tingkat keanekaragaman flora dan fauna yang
sangat tinggi. Kekayaan alam dan kondisi geografis ini telah mendorong lahirnya
penelitian dari bangsabangsa lain.
Dari sekian banyak penelitian terhadap flora dan fauna tersebut yang
paling terkenal di antaranya adalah penelitian Alfred Russel Wallace yang
membagi Indonesia dalam dua wilayah yang berbeda berdasarkan ciri khusus baik
fauna maupun floranya.
Pembagian itu adalah Paparan Sahul di sebelah timur, Paparan Sunda di
sebelah barat. Zona di antara paparan tersebut kemudian dikenal sebagai wilayah
Wallacea yang merupakan pembatas fauna yang membentang dari Selat Lombok hingga
Selat Makassar ke arah utara. Fauna-fauna yang berada di sebelah barat garis
pembatas itu disebut dengan Indo-Malayan region. Di sebelah timur disebut
dengan Australia Malayan region. Garis itulah yang kemudian kita kenal dengan
Garis Wallacea.
Merujuk pada tarikh bumi di atas, keberadaan manusia di muka bumi
dimulai pada zaman Kuarter sekitar 600.000 tahun lalu atau disebut juga zaman
es. Dinamakan zaman es karena selama itu es dari kutub berkali-kali meluas
sampai menutupi sebagian besar permukaan bumi dari Eropa Utara, Asia Utara dan
Amerika Utara Peristiwa itu terjadi karena panas bumi tidak tetap, adakalanya
naik dan adakalanya turun. Jika ukuran panas bumi turun dratis maka es akan
mencapai luas yang sebesar-besarnya dan air laut akan turun atau disebut zaman
Glasial. Sebaliknya jika ukuran panas naik, maka es akan mencair, dan permukaan
air laut akan naik yang disebut zaman Interglasial. Zaman Glasial dan zaman
Interglasial ini berlangsung silih berganti selama zaman Diluvium (Pleistosen).
Hal ini menimbulkan berbagai perubahan iklim di seluruh dunia, yang
kemudian mempengaruhi keadaan bumi serta kehidupan yang ada diatasnya termasuk
manusia, sedangkan zaman Aluvium (Holosen) berlangsung kira-kira 20.000 tahun
yang lalu hingga sekarang ini.
Sejak zaman ini mulai terlihat secara nyata adanya perkembangan kehidupan
manusia, meskipun dalam taraf yang sangat sederhana baik fisik maupun kemampuan
berpikirnya. Namun demikian dalam rangka untuk mempertahankan diri dan
keberlangsungan kehidupannya, secara lambat laun manusia mulai mengembangkan
kebudayaan. Beruntung kita bangsa Indonesia memiliki temuan bermacam-macam
jenis manusia purba beserta hasil-hasil kebudayaannya, sehingga sejak akhir
abad ke-19 para ilmuwan tertarik untuk melakukan kajian di negeri kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar